Senin, 02 Februari 2015

Ketombe

Pengalaman yang mengasyikkan menjadi seorang manusia, bisa menjajah, bisa menindas, bisa beringas, dan terang saja bisa berketombe. Untuk ukuran manusia biasa ketombe itu sifatnya datang dan pergi. Dalam urusan inilah gue merasa tidak selevel dengan manusia pada umumnya. Jelas level gue jauh di atas kalian, tolong klaim gue sebagai .....................


MUTANT.

Gue sebenernya ga tau tau amat tentang sejarah ketombe ataupun riset terbaru tentang ketombe. Yang pingin gue sampaiin mungkin yang gue bingungin tentang kotembe. Ketombe, kenapa aksara e dalam kata ketombe harus ada sih? bukankah dalam mengeja aksara b itu sudah menjadi "be", kenapa juga kalo gue tulis ketomb dibaca "ketom"? bacaan b nya ke mana? ngejer 140 sks kuliah?

Kalo emang bener si b ini kuliah, ga mungkin lah dia ketinggalan sks, wong dia b kok. masa mau dapet d? melanggar kodrat sebagai b dong. IQ?

Apakah dengan tidak dibacanya "be" dalam ketomb bisa menjadi tolak ukur ketidakadilan negeri ini? Untuk sementara, itu bukan kapasitas saya untuk menjawab. Ketidakpastian negera ini sebenernya tercermin dari produk produk yang dihasilkan. Produk anti ketombe misalnya, gue yakin serum anti ketombe yang bener bener mujarab sampai merusak perkembangbiakannya sudah tercipta sejak dulu kala, kira kira pada masa sebelum terciptanya waktu. Pada masa itu kata kata yang berarti menandakan waktu seperti (sejak, dulu, kala, pada, masa) itu belum ada semua. Jadi jelas! paragraf ini omong kosong.

Tanpa kalian harus mengamini, gue sudah sadar kok, bahwa produk yang dihasilkan atau yang masuk tidak hanya menginginkan produknya laku terjual tapi juga berkelanjutan. Karena orientasi mereka bisnis mereka tentu tutup mata dong tentang kode etik scientist. Memberi manfaat dari ilmu atau penemuannya kepada orang yang membutuhkan.

Gue udah coba segala macem alternatif solusi, baik berupa kesadaran kuno seperti menggunakan lidah buaya, kesadaran modern seperti shampo dan bahkan gue juga menggunakan ketidaksadaran seperti memarut kulit kepala. Guyon.

Entah karena ketombe ini menempel pada kepala untuk waktu yang lama, ketombe jadi geer dan merasa menjadi darah daging sehingga menuntut untuk dilibatkan dalam setiap pikiran gue. Suatu waktu temen gue ngajak ke mesjid, "bro ke mesjid yok denger ceramah". Ah enggak ah, peci gue ga ada ventilasinya, itu ga baik menurut fengshui, ntar ketombean. Terlihat seperti menutupi kemalesan kan? padahan kan cuma iya.

Dalam dunia serba praktek seperti sekarang ini, tekanan dalam menjalani kehidupan kian berat, apalagi lingkungan sangat berpengaruh atas keputusan keputusan yang diambil. Rasanya seperti menjauh dari diri sendiri, adakah peran yang diambil oleh diri sendiri untuk kehidupan sendiri? Atau itu sebenernya adalah lingkungan yang berakting menjadi diri sendiri?

Pernah satu hari gue lupa keramas saat pergi ke kampus, di halte bus Sarbagita Sudirman menunggu bus datang, gue hendak menguncir rambut, saat proses pengunciran ada guncangan yang dihasilkan dan menggugurkan ketombe ke bahu, udah ketombean muka juga jauh di luar semangat pasar, gue minder, pada orang orang satu penantian. Bus...........

Suatu malam di lain hari, mungkin karena sendu sinar rembulan kala itu, merangsang untuk membuka kembali memori gue tentang lupa keramas. Kenapa sih gue minder? padahal orang orang disana juga belum tentu melihat gugurnya ketombe. Pertanyaan itu membuat gue sadar, diri sendiri itu tak ubahnya sebuah titik kecil dari hamparan kertas putih semesta bernama lingkungan.

Jelas mental minder itu tidak baik, gue bakal merubah itu. Mari selesaikan minder kita bareng bareng, jangan bangga saat pemain arsenal mengenakan batik. Seharusnya mereka yang bangga mengenakan batik.

Perhatian pemerintah sedikit lesu tentang perkara ketombe. Gitu kan cara mainnya? apapun yang ga sanggup kita benahi adalah salah pemerintah?.  Siapa bilang pembasmian ketombe bukan hal penting? seperti yang udah gue bilang, sedikit banyak ketombe berpengaruh terhadap pemikiran dan keputusan. Jika kulit wajah bersih maka masyarakat menilainya cantik, jika kulit kepala bersih maka pemikiran masyarakat mungkin bisa jadi jernih. Atau pemerintah takut rakyatnya punya pikiran jernih? jika rakyat berpikir jernih mungkin rakyat tidak mau di perintah oleh pemerintah yang bisa juga diartikan tukang perintah. Atau ini adalah sebuah konspirasi agar rakyat tidak bisa berpikir jernih? mungkin hal semacam inilah yang disebut demokrasi. Serba mungkin atau serba atau..............................

Toko serba ada, nemu?
  
Inilah dirasa waktu yang tepat oleh penulis untuk membayangkan sebuah negeri, anggaplah sebutannya negeri nganu. Sebagian besar penduduk negeri nganu berpikiran anti sinisme, buah aplikasi perasan dari Pancasila, dasar negara kita yang dipinjam. Gotong royong, kalimat yang dianggap cukup mewakili Pancasila digembar gemborkan kepada setiap rakyat. Hasilnya terlihat, di negeri nganu, sulit ditemukan orang mencibir kekurangan orang lain, mereka ga punya gairah melakukan itu. Paling paling yang ditemukan jika penyidikan serius dilakukan untuk mencari kekurangan negeri nganu ini berupa orang yang cuek berlalu setelah diteriaki mbak mbak kasir Nganumaret "Mas!!! ini kembaliannya mas".


So Sweet... 

Bisa ga ya negara kita seperti itu?
Ah, itu cuma angan - angan seseorang yang berketombe........
Baca selengkapnya » 1 komentar

Sabtu, 31 Januari 2015

Sekedar Esai

Sekapur Sirih
Nothing...............................................

JANCUK

Dalam sebuah tembang karya Sujiwo Tejo gue belajar memaknai bahwa dalam hangatnya kekerabatan itu justru lahir dari kejujuran kita menggunakan kata yang dianggap kotor oleh sebagian khalayak "Jancuk". Lagu tersebut juga membuat gue berpikir kalo manusia itu lebih jujur saat berbicara jancuk dibanding kata panggilan yang mengagungkan individu seperti : Yang Terhormat, Beliau, Tuan, Pak, dan sebagainya.

Bener ga sih gue?
 
Gue juga berpikir kaya gitu karena kejadian nyata, contohnya Mentri Agama menjadi tersangka kurupsi. Bukankah para pegawai memanggilnya Pak? Bukankah dalam acara resmi dia disebut Yang Terhormat? Bukankah saat menjadi orang ke 3 dalam pembicaraan dia disebut Beliau?, itulah yang mendasari gue hingga berpikir kata panggilan agung termaknai negatif.  Maafkan saya.

Mungkin kasus Mentri Agama ini agak outdate, tapi yang membuat kasus ini bersemayam agak lama di otak gue ya karena ini dilakukan oleh sosok yang mengurusi urusan ke -Tuhanan di negara kita. Dia seolah olah memberi tanda bahwa Agama dan Aqidah itu terbentang jarak yang jauh. Kejadian seperti ini seharusnya berada lebih tinggi dari dimensi ke-n yaitu dimensi tak hingga. Gampangnya, sebatas taraf imajinasi seharusnya tidak pernah terjadi.

Ini gue kasih sebagian lirik lagu jancuk - Sujiwo Tejo.

Kalo' mau ngutang ga bisa ngutang apa namanya kalo' bukan jancuk
Kalo' mau ngutangi ga bisa ngutangi apa namanya kalo' bukan jancuk 
Ayo maju maju jangan lupa mundur
Ayo mundur mundur jangan lupa maju

Gimana karya seniman edan? Asyik kan? disitu ada pesen yang jarang gue denger "jangan lupa mundur". Mundur itu jenis kata yang kudu diibakan, terlalu banyak orang menganggap mundur itu kesalahan. Bukankah introspeksi diri itu manifestasi dari pikiran mundur? Bukankah introspeksi adalah modal utama membangun langkah maju?  

Jadi bisakah maju tanpa kehadiran mundur cuk?

Lupakan sejenak tentang mundur. Gue pernah bilang di media sosial kalau jancuk itu maknanya lebih global, walaupun sering dinilai berupa umpatan. Padahal, dengan niatan tulus kata jancuk bisa membangun keakraban dan jika ditambah dengan momentum yang tepat jancuk bisa juga lebih merapatkan lagi jarak kita yang sudah sehelai rambut ini.

Jika dengan jancuk-pun tak sanggup menjumpaimu dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu. Sujiwo Tejo.

Salahkan jancuk jika menyakitimu, salahkan aku jika berhenti merindumu. Gue.

Iyakah Bung Tomo saat melawan inggris di Surabaya hanya teriak teriak "MERDEKA MERDEKA MERDEKA!!!!" tanpa ada terlontar kata Jancuk diantaranya? Begitukah cara kita mengenang sejarah 10 November? Dangkal.





Paha. (padahal gue udah nahan nahan biar ga nulis kata ini, maaf)

Jancuk, kata yang tidak terdiri dari kata dasar, hanya kumpulan dari 1 buah imbuhan jan dan 1 akhiran cuk.

Kenapa gara gara satu kata yang tidak punya dasar bisa melukai hati? 
Mungkin karena kalian jarang mundur.

Gue udah pernah bahas jancuk di path, twitter, dan facebook, jadi ya tinggal ini sisa materinya.


KEBERATAN

Cluenya cuma satu kata. TIMUR. Udah ga usah dijawab, itu cuma plesetan standar. Tulisan ini mengkaitkan antara keberatan dan televisi. Tapi bukan soal keberatan lari lari pada malam hari kemudian secara sadar menggendong televisi orang lain. Terlalu kebendaan, hal yang dimaksud adalah tentang salah satu kategori dalam egoisme diri yang mengandung kritik untuk sesuatu yang tidak kita setujui.

Gimana definisi gue? masuk akal atau masuk neraka?

Perkara keberatan jelas ada pada individu masing masing, tulisan gue juga gak menuntut agar kita sepaham. Yang mutlak, keberatan gue berangkat dari ketidakpuasan. Ini hanya reaksi natural dari seorang konsumen. Wajar kan?

Dulu, gue adalah insan yang taat menghadap televisi. Sekarang? Buka buku matematika, cari bab bangun ruang dan pandangi segitiga. Terdapat 2 sudut kaki pada alas , anggaplah sudut sudut itu "lucu" dan "non lucu", seiring berkembangnya waktu, ke-2 sudut tersebut melebur ke sudut yang sama, nah di puncak segitiga itulah  "lucu" dan "nonlucu" membaur dan menjadi sulit untuk ditafsir. Blur.

Gue jadi ga tau, bentuk mimik wajah seperti apa yang harus gue keluarin pas ngelihat goyang cesar? Kalo gue ketawa jadi seperti pendosa, kalo ga ketawa usaha mereka udah keras.


How?????

Alangkah baiknya jika orang produksi atau tim kreatif perusahaan TV lebih serius untuk bercanda. Andaikan becanda itu agama, maka mereka termasuk orang yang kafir. Jayusnya terpidana mati.

Tidak cukup sampai disitu, hari hari makin berat saat berusaha bersahabat dengan televisi, tiba tiba muncul acara baru, entah dapet dorongan dari mana terjalinlah beberapa kerja sama sakti. Raffi, Gigi, Anang, Ashanti. Fiuhhh, ini bukan bunyi seseorang menghela nafas mas mbak, ini lebih mengarah ke sebuah pertanyaan "Boleh gak sehari saja tanpa secuilpun nama kalian dalam pikiran menjelang tidur gue?".

Gue memang ga nonton, tapi ada beberapa momen gue kudu mencari channel yang mau ditonton dan ga sengaja melihat muka yang sangat sangat familiar seperti kalian. Gue udah mencoba lho untuk tertarik tapi usaha itu hanya bertahan dalam rentang waktu 30an detik.

"Kalo ga mau ya jangan ditonton".  Normalnya jawaban itulah yang keluar dari aktor dan penyedia siaran. Apakah ini sekedar kalo ga mau jangan ditonton? Bukan tentang bagaimana sebuah layanan publik berjalan? Kalo denger kata publik saya merasa harus ada pertanggung jawaban disitu, ada sesuatu yang harus diukur demi kebaikan publik. Sudah baik tayangan itu untuk publik? Rasa rasain ya.

Melahirkan di on air - in? boleh. Nikah di masukin TV? boleh, di jadiin sequel janji suci ? boleh. Tina Toon? boleh boleh.

Asal:

Berdoa agar kami (orang orang dalam frekwensimu) tidak kehilangan nalar.
Berharap dalam keyakinan yang tinggi agar budaya dalam negaramu tidak kehilangan esensi.
Luangkan 30an detik untuk berpikir.


BUANG AIR

Dalam konteks buang air, satuan besar kecil agak dikhususkan oleh besaran satuan Internasional. Kenapa? Karena besar dan kecil untuk urusan buang air ini dinilai dari kandungan zat, kalo yang dibuang itu bentuk zatnya cair itu termasuk buang air kecil dan jika zatnya padat termasuk buang air besar. Walaupun! Zat padat disini ga bener bener padat, keragu raguan ini disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam percobaan, ketidakpresisian alat, dan buruknya sampel yang digunakan.

Kita hidup di zaman yang serba dinilai, bisa berupa pandangan, cibiran, maupun coretan di kertas. Dinilai membuat kita merasa tertuntut untuk melakukan pengembangan. Untungnya di zaman yang sama, kegiatan buang air ini masih tergolong privat, orang orang masih membiarkannya berada di zona pribadi dan tidak layak muncul di pembicaraan. Biarkanlah seperti itu dan jangan sampai suatu saat ada gaya buang air trendi.

Secara sadar namun sering dilupakan, sebenernya kita mengistimewakan buang air. Ga pernah ada dalam rundown acara tapi saat isyaratnya datang, dia menjadi PRIORITAS. Urusan buang membuang air memang perkara mudah tetapi bukan tanpa usaha, bahkan usaha yang dilakukan lebih berat dari pada hal yang lebih susah, seperti diam.

Diam itu susah. Ada peperangan antara pengetahuan dan ego hingga kita bisa menyimpulkan bahwa kita layak untuk diam, walaupun secara fisik diam seperti tidak melakukan apa apa. Setau gue, hal yang paling pasti tidak boleh diam di dunia adalah detak jantung.

Bagusnya pemerintahan kita adalah mengganggap sangat serius perkara buang air. Terlihat dari biaya renovasi toilet DPR yang menyentuh angka 2 milyar. Biaya segitu jelas bukan masalah bagi rakyat asal dananya dari kocek pribadi. Bukankah buang air itu masalah pribadi? Atau kalian merasa sedang mewakili rakyat saat buang air?


Layak-kah rakyat diam?????????????????


TIDUR

Bebas dan rahasia. Bebas model gimana yang rahasia? Kalo udah bebas lingkupnya ya suka suka, tapi bebas yang kaya mana yang rahasia? Bebas kok ditekan menjadi rahasia, masih bebas rasanya kalo dirahasiakan? IQ?. Tapi gue ngerti kok maksud pemerintah waktu menggandengkan bebas dengan rahasia pada jargon pemilu kemaren.

Lagi lagi menurut gue, bebas dan rahasia lebih cocok menggambarkan tentang tidur. Gaya tidur tidak pernah diperkarakan dalam pengadilan apapun, ini mengartikan bebas. Mimpi jadi orang gila (87), mimpi ketemu uler (32), itu jelas harus menjadi rahasia waktu bangun atau seenggaknya sampai udah masang togel.

Tidur bukan sebatas hal ikhwal sebelum melek doang, banyak yang bisa diceritakan dari situ. Pancasilais kalo tidur itu selama 8 jam, begitulah jika ditanjau dalam bidang kedokteran, jika diatas itu? Nganggurais atau Holidayais. Sudah! Hentikan!

Perkataan sahabat, tidurnya nabi memikirkan ummat, dari situ kita harusnya memetik tidur bukan sebuah ketidakberdayaan. Justru tidur imajinasi tertinggi muncul, keresahan keresahan saat bangun dirangkum oleh tidur dalam bentuk mimpi. Ketika bangun? ingat segelintir kecil aja dari mimpi, produk paling mungkin adalah sebuah kesadaran.

Dari tidur................................

 Teringat jelas guyonan seseorang yang memiliki jiwa semar di dalamnya, Gus Dur. Setidaknya itulah yang diucapkan Sujiwo Tejo. Begini, hanya ada 2 polisi yang baik, keduanya tidak korup, mereka adalah Jenderal Polisi Hoegeng dan Polisi Tidur.

Kelakar Gus Dur mungkin menjadi penyulut semangat anggota DPR, tidak semua memang, tapi tidak semua itu masih banyak, berbondong bondong mengejar gelar pejabat tidur. Dengan harapan agar dipandang tidak korup.

Dibawah hujan semua sama, basah. Dibawah ac semua sama, ngantuk. Yang beda cuma cara mengatasinya, ada yang keluar ruang sidang untuk merokok, ada yang ke kamar mandi, cuci muka. Nah ini yang paling bener, diam ditempat, baca email yang berupa link menuju ke situs bokep, mengubah rangsangan tidur ke rangsangan yang berarti sebenarnya. Dahsyatnya doi masih belum sadar itu bokep saat detik berganti menit.

Dalam segi cinta, tidur bisa membawa keabadian, berupa berlanjutnya sebuah generasi. Mudahnya, making love. Tidak ada yang baru di dunia ini, semua itu hasil serapan dari prinsip prinsip ciptaan-NYA. Mur dan baut? Galon dan dispenser? Headset dan rumahnya pada gadget? kira kira prinsip apa yang digunakan untuk menciptakan mereka?. Jangan berupaya menghindar dari jawaban making love. Betapa mulianya making love, sebelum tereksploitasi oleh situs situs bokep sehingga menjadikan ini adalah hanya urusan syahwat. Betapa sakralnya making love..........




Sebelum para pejabat mendzolimi dengan mengklik link di tengah tengah rapat.




Baca selengkapnya » 0 komentar

Copyright © Dari Surga 2010

Template By Nano Yulianto